Selasa, 02 Juli 2024

Ta-U/W-akal (Tawakal)



Mukodimah Poci Maiyah Juli 2024

Oleh : Abdullah Farid

 

Dahulu para penduduk Yaman berhajji namun mereka tidak membawa bekal dan mereka berkata, kami adalah orang-orang yang bertawakal. Ketika mereka tiba di Makkah, mereka meminta-minta kepada manusia. Maka Allah Ta'ala menurunkan ayat 197 dari QS Al Baqarah) yang artinya (Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.) Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Uyainah dari 'Amru dari 'Ikrimah secara mursal.

 

Mukodimah Poci Maiyah bulan Juli ini akan mengupas tentang Tawakal. Dalam kata itu, penekanannya ada pada kata Tau Akal atau Tawakal, menyelami sikap tawakal dalam kesadaran seseorang menggunakan nalarnya.

 

Apa itu tawakal? Definisinya bisa banyak sekali. Maka dalam tema ini, akan dibatasi pada ruang penggunakan akal dengan optimal sebelum menyerahkan urusan pada Tuhan. Seperti hadits di awal mukodimah tadi, bahwa tawakal itu bukan losdol tanpa persiapan atau bekal. Tawakal, dalam satu identifikasi adalah apa yang para kyai nusantara ini disingkat dalam kata DUIT. Doa, usaha, ikhtiar (menyempurnakan usaha), dan lalu tawakal. Menyerahkan urusan pada Tuhan. Dalam tema ini, tawakal bisa dijelaskan sebagai kesempurnaan gerak sejak dari hati (yaitu berdoa), usaha (dengan memahami ilmu dan caranya), ikhtiar dengan pengerahan energi, waktu, sumber daya, dll), lalu baru tawakal. Menyerahkan urusan pada Tuhan, tapi masih dengan harapan yang disisipkan dalam doa.

 

Ada beda antara pamrih (thoma') atau ambisius, tawakal, dan tafwidl. Pamrih atau ambisius adalah terdiktenya diri manusia pada apa yang diinginkannya. Apakah itu buruk? Tidak juga, jika ambisi atau pamrih itu dalam kebaikan yang disyariatkan, atau kebaikan sosial. Pamrih yang dilarang adalah ketika diri diperbudak keinginan dengan cara melanggar batas-batas syariat, yang akhirnya ada nilai kerusakan, baik dalam diri personal atau sosial. Dalam hal ini, keseimbangan lingkungan, baik diri atau sosial menjadi timpang atau rusak.

 

Selanjutnya adalah tawakal, yang dalam satu definisi, adalah menyerahkan urusan-urusan pada Tuhan, namun masih menyimpan harapan terwujudnya ambisi / pamrih. Dalam penekanan, ambisi itu bermakmum pada kepasrahan di hadapan kekuasaan Tuhan. Tidak memaksa, atau seakan Tuhan harus mengikuti keinginan-keinginannya. Ada saatnya hati (yang berdoa), akal (yang berpikir), dan tubuh (yang bergerak) sejenak mendamaikan diri. Sebab semua urusan, setidaknya memikirkan urusan itu, sudah dilimpahkan pada kewenangan Tuhan. Dalam singkat kata, istirahatkan pikiranmu, dan izinkan Tuhan menentukan mana yang terbaik untukmu. Ada wilayah akal, dan ada wilayah hati yang pasrah meski sulit untuk total mengikuti kehendak Tuhan. Karena biasanya yang Tuhan kehendaki justru bukan yang seseorang inginkan. Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Di Maiyah lagi-lagi sudah sering dibahas hal ini.

 

Terakhir adalah tafwidl, dari kata فوّض, yang jika menurut Al Ghazali orang-orang yang telah mencapai ini disebut sebagai golongan mufawwidlun yaitu yang menyerahkan urusan hidupnya secara total pada Tuhan. Konteks disini adalah kehendak diri, yaitu ketika keinginan atau kehendak seseorang bagaimana Tuhan saja. Dia mengalir bersama qodar Allah. Disuruh ngidul, siap Gusti. Disuruh ngalor, nggih Gusti. Disuruh mundur, siap Gusti. Disuruh berangkat (meskipun diri menolak dan akal tak tahu alasannya), nggih pun siap Gusti. Bagaimana manusia biasa bisa tahu itu adalah perintah langsung dari Tuhannya? Ya itu hanya untuk yang sudah sampai pada tingkatan atau derajat tafwidl, di atas tawakal. Kita ndak satu kelas dengan mereka. Jadi tak perlu dipikirkan.

 

Di Maiyah, ada model pendakian spiritual untuk sampai kesana. Apa yang pernah dibahas dalam satu tema, tentang 4 sumber gerak semesta. Mulai dari mengenali diri (nafs) dalam hal keinginan, lalu mendaki ke tingkat kebutuhan. Hidup sudah tidak didasari keinginan-keinginan, melainkan kebutuhan. Lalu mendaki lagi ke tingkatan cinta, tandanya adalah ketika Tuhan menunjukan pilihan takdir yang Dia kehendaki tapi seseorang tidak menginginkan itu dan juga tidak membutuhkan efek dari pilihan takdir itu. Dan terakhir adalah derajat ketaatan, yaitu ketika kehendak-Nya sudah menjadi kehendak seorang hamba. Ketika seorang hamba, dalam momen-momen tertentu, harus melakukan aktivitas yang tidak menguntungkan, atau bahkan melelahkan dirinya, tapi harus dilakukan tanpa ada pertanyaan bahkan di dalam hati. Dengan catatan, aktifitas sosial itu tidak melanggar syariat atau hukum Tuhan.

 

Pada awalnya, untuk sampai ke derajat tawakal, seseorang harus menggunakan akalnya. Tapi pada akhirnya, akal yang tadinya menjadi tools untuk mengelola data atau berpikir, berubah menjadi alat untuk menampung 'data langit', yaitu perintah-perintah sosial yang Tuhan inginkan seorang hamba untuk dilakukannya. Pada awalnya, perintah Qur'an tenang optimalisasi akal (afala ta'kilun, afala yatafakarun), perintah menggunakan akal. Tapi pada akhirnya, ayat itu berubah makna, yang tadinya adalah :

 

Afala ta'kilun, apakah engkau tidak menggunakan akalmu?

 

Afala yatafakkarun, apakah engkau tidak berpikir?

 

Berubah makna menjadi :

 

Afala ta'kilun, Afala yatafakkarun, mengapa engkau masih berpikir sedangkan engkau sudah bersama-Ku? Seakan Tuhan berkata pada orang-orang dalam derajat ini : Apakah engkau masih memikirkan Aku akan berbuat keburukan padamu, sedang Aku di sisi-mu?

 

Tafwidl ini bukan pemahaman salah kaprah tentang wahdatul wujud, kehendak-ku adalah kehendak Tuhan. Bukan tentang orang yang tidak seperti manusia lagi. Sebab, teladan dari itu semua adalah Nabi Muhammad. Beliau pernah dalam fase pamrih, lalu tawakal, lalu tafwidl (pasrah/menyerahkan tanpa tanya). Dan seseorang seperti itu, sudah dituntun oleh Allah bahkan sejak dari wilayah hati dan akalnya. Seperti Rasulullah, banyak hukum yang adalah produk akal pikirannya justru menjadikan beliau ditegur Allah. Sebaliknya, Qur'an adalah perkataan Tuhan yang dialirkan kepada akal nabi. Seperti pendekatan tadi, akal yang tadinya menjadi alat berpikir, berubah menjadi alat menampung ilmu dari Tuhan, meski tanpa berpikir.

 

Sabtu, 29 Juni 2024